Bubur Sagu, Dari Hutan ke Pasar-pasar Tradisional

Saya suka banget sama jajan pasar, jajanan tradisional yang jenisnya macam-macam dengan harga yang terjangkau itu. Pokoknya tiap ibu ke pasar pulangnya pasti bawa oleh-oleh aneka jajanan tradisional. Salah satu yang saya suka banget adalah bubur sagu. Biasanya bubur ini nggak sendirian sih, tapi disajikan dengan bubur putih, bubur ketan hitam dengan siraman santan kelapa atau gula merah cair.

Saya ingat santan kelapa yang disajikan bersama bubur ini rasanya gurih dan ada sedikit asin karena dibumbui sedikit garam. Tapi saya suka karena masih pakai kelapa organik yang rasanya ringan di lidah. Jaman sekarang kebanyakan kalaupun ada yang jual, santan yang dipakai terasa kental dan agak bikin eneg karena dari santan instan kemasan. Sementara santan kemasan, ya tahu sendiri lah kandungannya tinggal lemak doang. Dibandingkan santan asli kelapa homemade, ya kalah segar dan kalah sehat kalau menurut saya.

Semula saya sering salah paham kalau bubur sagu yang biasanya berwarna coklat ini rasa coklat, karena warna dan rasanya yang manis. Maklum waktu itu saya belum bisa membedakan rasa gula jawa dan cokelat *LOL. Tapi rupanya bubur ini berwarna brownish karena campuran gula merah atau gula jawa. Meskipun begitu saya suka banget bubur sagu dengan warna cokelat gula jawa yang manisnya pas. Manisnya terasa tidak berlebihan, mungkin karena alami, tidak membuat tenggorokan merasa tidak nyaman juga. Saya juga suka banget dengan teksturnya yang kenyal centil gimana gitu.

Saking sukanya dengan bubur sagu, kadang saya suka pengin ikut ke pasar yang padat dan penuh sesak dengan keramaian jual beli demi untuk makan bubur, es campur atau jajanan tradisional lainnya di tempat. Sampai-sampai merajuk ke nenek untuk dibuatkan bubur sagu ini. Soalnya sering pas lagi makan bareng ibu saya, saya tukar bubur ketan hitamnya dengan bubur sagu sehingga yang ada di mangkuk saya hanya bubur putih alias bubur sumsum dan bubur sagu saja. Nenek saya bisa membuat beberapa penganan tradisional. Bahkan blondo (ampas minyak kelapa homemade) saja bisa, dan rasanya super enak. Blondo adalah makanan tradisional lain yang saya suka. Tapi bikinnya memang supersusah dan lama. Sayangnya meskipun menurut nenek saya bubur sagu jauh lebih mudah dibuat, tapi bahannya tidak mudah didapat.

Bubur sagu saat itu tidak lazim dibudidayakan di desa saya, jika membutuhkan penduduk mendapatkannya dari hutan. Sagu rupanya adalah pangan dari hutan bagi warga di desa kami yang mayoritas bekerja sebagai petani. Memang desa tempat saya tinggal tidak langsung berbatasan dengan hutan. Namun masih ada hutan tidak jauh dari area pertanian tetangga desa yang berjarak beberapa desa dari desa kami.

Saya tidak tahu apakah langganan tempat makan bubur manis itu masih berjualan hingga sekarang, mengingat saya tidak pernah sempat berlama-lama di luar rumah setiap pulang ke kempung halaman. Namun saya harap tempatnya masih ada dan diwariskan antar generasi. Demikian juga rasanya, saya harap tetap sama dengan dulu.

Sagu meskipun merupakan pangan dari hutan yang kurang umum ditemui pada makanan sehari-hari namun ternyata sagu justru makanan yang lebih sehat daripada nasi. Sagu termasuk karbohidrat kompleks yang menyebabkan rasa kenyang lebih lama dan merupakan karbohidrat dengan indeks glikemik rendah jadi lebih baik untuk tubuh, terutama untuk yang sedang diet maupun penderita diabetes.

Sedih banget sebenarnya belakangan ini ketika banyak berita banjir dimana-mana, terutama di kota besar. Tinggal di kota besar adalah saat-saat pertama saya pernah mengalami banjir. Karena seperti yang saya bilang, selain area pertanian, pohon dan tanah lapang sebagai area serapan air, masih ada juga hutan-hutan kecil di beberapa wilayah kota saya sehingga jauh dari banjir. Kecuali mungkin di daerah yang dekat dengan aliran sungai bengawan solo.

Sedikitnya area serapan air, area tanah dan justru digantikan terus menerus dengan bangunan-bangunan baru yang menghalangi proses meresapnya air itulah yang meningkatkan resiko terjadinya banjir. Perilaku kita sendirilah yang kurang menjaga bumi ini sehingga menyebabkan banyak bencana alam terjadi.

Untuk mengurangi dampak buruk pembangunan bagi lingkungan, tentu saja kita harus memperlakukan lingkungan dengan seimbang. Jika sadar bahwa kita memanfaatkan banyak sumber daya alam maka kita juga harus menyisihkan dana untuk membantu revitalisasi lingkungan. Contohnya bisa kita lihat seperti yang selama ini dilakukan WALHI dalam kampanye-kampanyenya. WALHI adalah organisasi gerakan lingkungan hidup yang hingga saat ini merupakan yang terbesar di Indonesia, keanggotaan WALHI meliputi 487 organisasi non pemerintan dan pecinta alam serta 203 anggota perorangan yang tersebar di Indonesia. Kita pun bisa turut serta berkontribusi dengan berdonasi selain juga tetap aktif menjalankan pelestarian lingkungan sesuai kemampuan kita. Contohnya menanam pohon di halaman rumah jika memiliki halaman atau tanaman-tanaman dalam pot untuk mengurangi efek polusi serta memilah sampah dari rumah. Untuk yang lebih luas cakupannya, kita bisa percayakan pada WALHI.

You may also like

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *